Edukasibaru, Semarang— Baghdad, ibu kota Irak modern, pernah menjadi salah satu kota paling gemilang dalam sejarah peradaban manusia. Didirikan pada tahun 762 M oleh Khalifah Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur, kota ini dengan cepat berkembang menjadi pusat intelektual, kebudayaan, dan perdagangan dunia.
Sebagai jantung peradaban Islam pada masa keemasannya, Baghdad menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan, sastrawan, turis dan pedagang dari berbagai belahan dunia. Namun, kejayaannya juga diwarnai oleh tragedi kehancuran yang mengubah wajah kota ini selamanya. Artikel ini akan mengulas perkembangan, pengaruh, keistimewaan, dan kehancuran Baghdad sebagai pusat ilmu dunia.
Pembangunan dan Perkembangan Baghdad
Bagdad didirikan sebagai ibu kota baru Dinasti Abbasiyah, menggantikan Damaskus yang sebelumnya menjadi pusat kekuasaan Umayyah. Khalifah al-Mansur memilih lokasi strategis di tepi Sungai Tigris, di antara dua sungai besar, Eufrat dan Tigris, yang memberikan akses mudah ke jalur perdagangan dan pertanian subur Mesopotamia.
Kota ini dirancang dengan bentuk lingkaran konsentris, sebuah desain khas Persia yang mencerminkan kemegahan dan pertahanan yang kuat. Terdapat empat gerbang utama yang menghubungkan Bagdad dengan kota-kota penting seperti Basrah, Kufah, Suriah, dan Khurasan.

Pembangunannya melibatkan 100.000 pekerja, termasuk arsitek terkemuka seperti Naubakht (ahli Zoroaster) dan Mashallah (Yahudi dari Khorasan), yang merancang kota dengan pertimbangan astrologi dan teknik canggih pada masanya.
Kota ini dilengkapi dengan istana megah, masjid agung, pasar, dan sistem irigasi yang maju. Nama resminya, Madinat as-Salam (Kota Kedamaian), mencerminkan visinya sebagai pusat pemerintahan yang makmur dan aman.
Baghdad sebagai Pusat Ilmu Pengetahuan

Pada abad ke 9 hingga ke 13, Baghdad mencapai puncak kejayaannya sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Khalifah Harun al-Rashid (786–809) dan putranya, al-Ma’mun (813–833), mendirikan Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan), sebuah perpustakaan dan lembaga penelitian yang menjadi mercusuar pengetahuan global.
Di sini, karya-karya dari Yunani, Persia, India, dan Cina diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, melestarikan warisan intelektual kuno yang kemudian menjadi dasar Renaisans Eropa.
Pengaruh Global dan Kosmopolitanisme
Sebagai kota kosmopolitan, konsep yang menekankan rasa persaudaraan dan kesetaraan di antara semua manusia, tanpa memandang latar belakang budaya, negara, atau etnis, Bagdad menjadi tempat pertemuan berbagai budaya, agama, dan etnis.

Pedagang dari Cina, India, Afrika, dan Eropa berdagang di pasar-pasar Bagdad, membawa komoditas seperti sutra, rempah-rempah, dan buku-buku langka. Kota ini juga menjadi pusat diskusi antara pemikir Muslim, Kristen, dan Yahudi menciptakan lingkungan yang mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.
Posisinya di Jalur Sutra -merupakan jalur perdagangan sutra tiongkok yang menghubungkan Asia dan Eropa- memperkuat perannya sebagai jembatan antara Timur dan Barat. Geografer Arab seperti Al-Ya’qubi menggambarkan Bagdad sebagai “persimpangan dunia” di mana sungai Tigris menghubungkannya dengan pelabuhan-pelabuhan penting seperti Basrah dan Siraf, yang menjadi pintu gerbang perdagangan maritim hingga ke Cina.
Kehancuran Baghdad oleh Invasi Mongol (1258 M)

Kejayaan Bagdad berakhir tragis pada tahun 1258 ketika pasukan Mongol di bawah Hulagu Khan mengepung dan menghancurkan kota. Selama 13 hari pengepungan, pasukan Mongol membantai ratusan ribu penduduk, termasuk Khalifah al-Musta’sim, dan membakar perpustakaan, rumah sakit, serta universitas. Sungai Tigris dikabarkan berubah hitam karena tinta dari buku-buku yang dibuang dan merah karena darah korban.
Invasi ini tidak hanya mengakhiri Kekhalifahan Abbasiyah, tetapi juga menyebabkan kemunduran besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Banyak naskah berharga hilang, dan pusat intelektual dunia berpindah ke wilayah lain seperti Kairo dan Damaskus. Meskipun Bagdad perlahan pulih di bawah pemerintahan Ilkhanate dan Ottoman, kota ini tidak pernah kembali ke kejayaannya semula.
Warisan dan Relevansi Modern
Meskipun mengalami kehancuran, warisan Bagdad sebagai pusat ilmu pengetahuan tetap dikenang. Universitas Mustansiriya, yang didirikan pada abad ke-13, masih berdiri hingga kini sebagai salah satu universitas tertua di dunia. Kota ini juga menyimpan situs bersejarah seperti Masjid Al-Kadhimiya dan National Museum of Iraq, yang menyimpan artefak dari masa keemasannya.

Dalam konteks modern, Baghdad terus berjuang memulihkan diri dari konflik seperti Perang Iran-Irak (1980-an) dan invasi AS (2003). Namun, sebagai simbol ketahanan budaya, kota ini tetap menjadi saksi betapa ilmu pengetahuan dan kebudayaan dapat menjadi kekuatan pemersatu di tengah gejolak sejarah.
Baghdad bukan sekadar kota ia adalah simbol kejayaan intelektual Islam yang memengaruhi peradaban global. Dari pembangunannya yang megah, kemajuan sains, hingga kehancurannya yang tragis, sejarah Baghdad mengajarkan betapa pengetahuan adalah warisan terbesar umat manusia. Meski telah melalui berbagai ujian, warisannya tetap hidup, menginspirasi generasi mendatang untuk terus mengejar kemajuan ilmu dan kebudayaan.
Tertarik dengan perkembangan ilmu umum dalam islam? Baca juga artikel kami 7 Ilmuan Islam Paling Berpengaruh
Leave a comment